Senin, 06 Agustus 2012

Kaidah Pamor keris

 
 Keris Sengkelat Pamor Buntel Mayit

Keris yang bagus sesuai fungsinya sebagai senjata adalah tidak mudah patah atau bengkok. Ini juga merupakan hasil evolusi-progresif dari Empu dan para pande besi. Mereka melakukan mixing atas berbagai jenis logam, setidaknya besi, baja dan logam lain. Sadar akan kelemahan masing-masing logam, maka dibuat percobaan mencampur berbagai jenis logam untuk menghasilkan senjata yang unggul dari sisi material. Baja yang keras, tajam, namun getas (mudah patah), diapit oleh logam lain yang lentur (seperti lapisan besi lunak dan nikel) untuk menutupi kelemahan baja yang keras dan mudah patah tersebut. Karena susunan berlapis itu keris memiliki keistimewaan lain, lapisan besi lunak dan nikel menimbulkan konfigurasi yang indah dan itulah yang disebut ‘pamor’. Kata ‘pamor’ berasal dari bahasa Jawa ‘amor’ atau ‘diwor’ yang artinya ‘dicampur’ atau ‘disatukan’. (Kutipan : A.Ardiasto).


Awalnya motif pamor tidak beraturan, tidak kontras dan muncul tanpa disengaja. Garis-garis itu merupakan layer baru akibat adanya proses over-reaktif antara dua lapis bahan yang tidak murni yang terkena bara api dan pukulan. Layer itu memiliki lapisan grafis disebut ‘pamor sanak’ dan kemudian menjadi seni tersendiri. Oleh keadaan itu muncul ide dan metode mengatur terjadinya alur lapisan grafis (pamor sanak) dengan cara penambahan nikel atau logam yang lain. Beberapa bahan besi (heterogen) yang digunakan sering pula setelah diwarangi membentuk nuansa samar-samar keputihan tidak berupa alur yang jelas, lebih melebar seperti ‘awan di langit’ disebut pamor “ngapuk” (dari kata ‘kapuk’ = kapas; bhs.Jw).

Catatan-catatan etnografis masa lalu menunjukan bahwa empu keris atau pande besi secara khusus memiliki kedudukan penting dalam masyarakat karena dianggap memiliki kesaktian dan tidak sembarangan atau setiap orang dapat menjadi empu. Oleh karena itu sangat menarik bahwa, seperti disebutkan di dalam kitab Slokantara, pande besi termasuk salah satu golongan masyarakat ‘candala’. Tempat pembuatan benda-benda logam pada abad ke 9 di sebut ‘gusalyan’ dari istilah ‘paryyen’ (jawa kuno) berubah menjadi ‘paron’. Tempat-tempat tersebut dianggap sacral karena memiliki aspek simbolik – religius dimana ‘paron’ (landasan tempa) adalah lambang bumi dan ‘palu’ merupakan jatuhnya bahan besi (meteor) yang ditumbukkan, sebagai lambang terrestrial dan celestial yaitu simbolik dari persatuan “bapa akasa” dan “ibu bumi”. Artinya dalam pengertian ini adalah, bahwa selain fungsi teknomik dan sosioteknik, keris juga dianggap sebagai benda sacral yang dihasilkan dari pemahaman religius tentang ‘manunggaling kawulo gusti’. (kutipan dari makalah Prof. Dr. Timbul Haryono).

Penggunaan logam meteorit itu memang dilakukan secara sengaja terutama ketika proses spiritual yang mengiringi penciptaan para Empu ikut memberikan aksentuasi, yaitu adanya kepercayaan manusia (maguru alam pada masyarakat agraris) yang berdasar pada filosofi ‘manunggaling kawula Gusti’ tersebut. Filosofi Perrestrial itu tidak hanya milik masyarakat kita, tetapi merupakan sebuah gejala pada semua masyarakat atau manusia di seluruh dunia, yang menyadari akan keberadaannya dalam ruang lingkup kehidupannya berinteraksi dengan alam.

Kemudian penyatuan material logam meteorit tersebut pada ‘keris’ dianggap sebagai keterwakilan adanya kekuatan yang dahsyat. Kini, kepercayaan terhadap kekuatan yang ada pada keris itu memperkuat eksistensi keris, dengan sebutan adanya tuah, khasiat, yoni, daya magis, dlsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar