Rabu, 01 Agustus 2012

KANJENG KYAI NOGO MANUK GAJAHELAR







Keris Kanjeng Kyahi Nogo Manuk Gajahelar

Ragam hias tradisionil memiliki makna yang dalam, ragam hias tersebut menjadi simbol yang sanggup menembus jaman, serta menembus modernitas. Makna di balik sebuah simbol dari kraton Cirebon sangat terkenal dengan ragam hias Peksi Naga Liman.

Ragam hias Peksi Naga Liman sering terbaca dalam seni ukir kereta istana, dan terutama motif batik kuno yang hingga sekarang masih diciptakan dan berkembang dalam kreasi baru. Simbol itu merupakan sebuah cerminan dari adanya perpaduan antar tiga agama. Peksi dianggap sebagai representasi dari kendaraan Nabi Muhammad saat isra’mi’raj, Bouraq, kemudian naga adalah perlambang dari kebudayaan Budhisme. Sedangkan, Liman yang diartikan gajah, merupakan corak yang berasal dari agama Hindu.
Namun pada jaman yang lebih tua (Hindu), pujangga Khadiri (Kediri sekitar abad 9-10), menggambarkan simbol yang disebut Nogo Manuk Gajahelar, memiliki makna sebuah keseimbangan yang tergelar pada jagat raya ini dengan simbol hewan udara (diwakili wujud manuk), hewan laut (diwakili wujud naga), dan simbol hewan darat (diwakili wujud gajah).
Keris dengan simbol Nogo Manuk Gajahelar, merupakan harapan akan tercapainya sebuah niat atau kemauan yang besar dengan segala daya upaya untuk menyeimbangkan dunia. Menciptakan kemakmuran dan ”rahayu ing rat” (ketentraman atau perdamaian dunia) dalam ruang lingkup negara hingga dunia. Sumpah Raja pada jaman kuno Khadiri selalu diupacarai dengan pemaknaan falsafah ”rahayu ing rat” tersebut, sebagai tanggung jawab yang dipanggul oleh pucuk kekuasaan dan pimpinan tertinggi (raja).
Pada jaman Mataram istilah Manuk menjadi kata Peksi, sedangkan Gajah menjadi kata Liman dan falsafah tentang keseimbangan dunia dituliskan lagi oleh para pujangga jaman Mataram - Paku Buwana dengan falsafah yang kita kenal hingga sekarang ”Memayu Hayuning Bawana”. Di jaman keemasan Paku Buwana IX dan ke X terjadi banyak notasi sebagai kejayaan epigramatik (banyaknya tulisan dari pujangga) yang terulang setelah pada jaman kuno Kediri terkenal nama-nama empu Kanwa, Baradah dlsb...
Keris Kanjeng Kyahi Nogo Manuk Gajahelar, memiliki dasar pikiran sebagai sebuah monumen yang mengingatkan manusia senantiasa harus bertakwa, menjaga jalinan keseimbangan antara manusia dengan Tuhannya, menjaga jalinan kesimbangan manusia dengan Alam Semesta, serta menjaga jalinan manusia dengan sesama manusia yang di Bali dalam lingkup Hindu adat disebut Tri Hita Karana.
Keris dengan nama atau gelar Kanjeng Kyahi Nogo Manuk Gajahelar memiliki prototype tangguh Kediri karena penyertaan sebutan yang ada pada jaman itu, jika keris seperti ini bergaya tangguh setelah jaman Majapahit maka akan lazim disebut Peksi Nogo Liman, seperti yang sering dijumpai pada peninggalan di keraton Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar