Dhapur Jangkung Mangkurat sering disebut Jangkung Mangkunegoro diperkirakan dibuat jaman Mataram Akhir. (diambil dari Katalog Keris Kamardikan Award '08 dan Majalah Pamor)
Jangkung Mangkunegara merupakan
dapur keris Luk 3 (tiga) yang mempunyai 8 (delapan) ricikan, yaitu:
Kembang Kacang, Lambe Gajah, Jalen, Pijetan, Tikel Alis, Sraweyan, Dua
Sogokan berjajar bertemu di ujung bilah, dan Greneng. Kata Jangkung
berarti menuntun, melindungi, mengawasi dan menjaga dari kejauhan,
sedangkan Mangkunegara dapat berasal dari kata Mangku dan Negara. Mangku
yang diartikan menopang/menyangga sedangkan Negara dapat diartikan
bumi, wilayah beserta segala yang hidup dan tumbuh di atasnya. Jangkung
Mangkunegara mempunyai arti mengatur dan memerintah negara atau wilayah
yang menjadi kekuasaannya. Berdasarkan nama tersebut, tersirat makna
simbolik terkait dengan suatu ajaran kepemimpinan.
Kepemimpinan Dalam Budaya Jawa
Dalam
konsep kepemimpinan Jawa, kekuasaan bukan diperuntukkan bagi seorang
pemimpin, akan tetapi lebih menekankan pada dampak yang baik bagi rakyat
dan negara. Sebuah kekuasaan dianggap berhasil apabila negara dalam
keadaan tenteram, sejahtera, adil dan rakyat tenang dan puas
melaksanakan perkerjaan sehari-hari. Hasil dari kepemimpinan seorang
raja diperoleh tanpa tindakan paksa, seolah mengalir dengan sendirinya,
atau seolah-olah tanpa usaha yang mencolok. Sehingga, dalam kondisi
demikian kekuasaan seorang raja tidak perlu diperlihatkan. Jika tercapai
ketenangan sedemikian rupa dalam suatu negara, maka kekuasaan dan
kewibawaan seorang pemimpin/raja akan terlihat dengan sendirinya di mata
rakyat.
Dalam paham kepemimpinan
Jawa, justru penguasa yang baik harus mencegah tindakan kekerasan.
Kehalusan dalam bersikap dan berperilaku, antara lain: halus dalam
bertutur kata, halus dalam memberi perintah, bersikap sopan terhadap
orang lain menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang beradab.
Kepemimpinan secara halus menunjukkan bahwa dia dapat mengontrol dirinya
secara sempurna dan dengan demikian mempunyai kekuatan batin.
Sebaliknya, sikap kasar dinilai rendah, kurang berbudaya, kurang kontrol
diri merupakan cermin kelemahan batin. Bersikap kasar dan emosional,
justru akan memperlemah kedudukannya sebagai seorang pemimpin.
Bersikap
halus bukan berarti tidak tegas, tetapi lebih menekankan kontrol diri
terhadap sesuatu permasalahan. Pemimpin seharusnya bersikap tanuhita
(mengayomi dan njangkungi), tidak keras hati memaksakan kehendaknya atau
bersikap kasar untuk mempertahankan kewibawaannya. Hal demikian,
tentunya menuntut suatu pemerintahan yang dijalankan dengan suatu sistem
ketatanegaraan dan perundang-undangan yang baik dan kepribadian seorang
pemimpin/raja yang penuh suri tauladan. Uraian di atas merupakan
penjabaran arti Jangkung dalam sebuah konsep kepemimpinan Jawa.
Makna Dalam Ricikan Jangkung Mangkunegara
Ada 8 (delapan) ricikan pada dapur Jangkung Mangkunegara dengan ulasan makna sebagai berikut:
Kembang
Kacang, merupakan simbol untuk selalu tumbuh berkembang. Seorang
pemimpin hendaknya berorientasi ke depan dalam menjalankan tugasnya agar
sesuatu yang menjadi tanggungjawabnya akan tumbuh berkembang. Suatu
pertumbuhan yang terencana dengan baik. Kembang kacang juga melambangkan
sikap optimistik dalam menjalankan kepemimpinan.
Lambe
Gajah, merupakan simbol ucapan yang dapat dipercaya. Seorang
raja/pemimpin harus teguh memegang janji yang telah diucapkan,
sebagaimana sesanti Sabda Pandita Ratu Tan Kena Wola-Wali. Ucapan
seorang raja adalah janji, sehingga harus dilaksanakan, tidak boleh
dibatalkan atau diingkari. Esuk Dhele Sore Tempe (pagi hari Kedelai,
sore hari sudah berubah menjadi Tempe) merupakan ungkapan yang harus
dihindari. Ungkapan tersebut menunjukkan tabiat seseorang yang dengan
mudahnya merubah sikap perkataanya sekehendak hati, berubah pendirian
dalam waktu yang singkat (plin plan). Sikap yang demikian akan
mendatangkan kesulitan bagi dirinya maupun orang lain. Sehingga setiap
permasalahan hendaknya dipelajari dan dipertimbangkan secara matang
dengan segala konsekuensinya, sebelum pengambilan keputusan.
Jalen,
dari asal kata Jalu (taji ayam jago) merupakan simbol keberanian.
Seorang pemimpin harus berani mengambil risiko setiap keputusan yang
diambil. Meskipun tidak populer, asal bertujuan untuk kesejahteraan
rakyat, tentunya keputusan terbaik harus diambil. Harus berani bersikap
adil terhadap semua lapisan masyarakat, baik terhadap rakyat maupun
pejabat, bahkan keluarga sendiri. Keberanian dalam membela kebenaran
atau berpijak pada aturan, tanpa pandang bulu. Keyakinan dalam
menjalankan kebenaran sesuai ajaran Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening
Pangastuti, yang berarti kejahatan dan kekerasan akan terkalahkan dengan
kehalusan budi, dalam arti tidak harus suatu kekerasan dilawan dengan
kekejaman. Dalam hal ini seorang pemimpin harus berani tanpa ragu dalam
menjalankan fungsi kepemimpinannya, kapan dia harus memberikan toleransi
dan kapan dia harus bertindak tegas.
Pijetan,
melambangkan sikap berlapang hati dan sabar. Seorang pemimpin hendaknya
mempunyai hati sedalam lautan dan seluas samudera. Pertanda seorang
pemimpin yang mampu menerima segala aspirasi yang berkembang
dimasyarakat dan sabar menerima setiap kritikan terhadap dirinya dan
segala nasihat serta saran dari para bawahannya.
Tikel
Alis, melambangkan berpenampilan yang baik, roman muka cerah yang
menunjukkan keramah tamahan dan senyuman yang menyenangkan bagi orang
lain. Menghadapi masalah bagaimanapun sulitnya, harus dihadapi dengan
muka manis. Perasaan marah dan tidak suka, harus disembunyikan lewat
senyum manis, sebaliknya kemarahan yang meledak-meledak merupakan
tindakan yang kurang pantas. Tikel Alis juga melambangkan segala sikap
tindakan selalu ada batas-batasnya.
Sogokan
rangkap dan Ada-ada sampai ke ujung bilah, melambangkan keharusan bagi
seorang pemimpin untuk selalu tekun menggali potensi diri, menuangkan
dan mewujudkan gagasan, mengembangkan kreatifitas kearah yang positif.
Hal tersebut dilakukan tanpa henti di tengah jalan, guna menuntaskan
setiap tujuan.
Sraweyan,
melambangkan kemampuan untuk menjaga keselarasan dan beradaptasi.
Seorang pemimpin tidaklah dituntut untuk merubah tatanan yang sudah ada
dan baik, tetapi justru menjaga agar keselarasan tidak terganggu.
Sebagai seorang pemimpin sebaiknya mau belajar hidup ditengah-tengah
macam struktur dan keadaan, entah baik atau buruk. Melalui sikap yang
mau membaur (ajur-ajer) itu, akan membantu untuk mengetahui setiap
permasalahan yang berkembang di masyarakat, sehingga dapat diciptakan
keadaan adil dan makmur.
Greneng,
merupakan simbol momong rasa atau kemampuan mengendalikan diri.
Kemampuan ini merupakan inti kesaktian seorang raja. Pada jaman dahulu,
olah rasa sering dicapai dengan cara bertapa atau bersemedi. Sebagaimana
laku tapa atau semedi, dalam konteks pengertian modern, bertapa
merupakan konsekuensi menjalankan ibadah dan ajaran agamanya secara baik
dan benar. Keutamaan dalam laku tersebut yaitu pengendalian diri
terhadap keduniawian (sepi ing pamrih) dan kesediaan untuk memenuhi
kewajibannya secara bertanggung jawab (rame ing gawe). Seorang pemimpin
atau raja akan kehilangan kasekten (kesaktian) jika mengikuti hawa
nafsunya dan mengejar kepentingan pribadi/pamrih dan mulai malas
bekarya. Pamrih akan melunturkan kekuasaanya, karena pusat pengendalian
diri tidak terletak pada batinnya lagi, tetapi pribadinya lebih banyak
dipengaruhi unsur-unsur negatif dari luar. Jika kondisi sudah demikian,
sebenarnya seorang pemimpin/raja sudah mulai kehilangan kesaktiannya.
Selain itu sering menyertakan Pudak Setegal sebagai lambang dari
kokohnya kepemimpinan.
Tiga Konsep Kepemimpinan
Konsep
kepemimpinan Jawa dapat dijabarkan dalam beberapa ajaran yang terkait
dengan makna dalam setiap ricikan keris dapur Jangkung Mangkunegara.
Menurut ajaran Sastra Jendra
Hayuningrat, sosok pemimpin yang ideal hendaknya memiliki kecerdasan
intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Hal tersebut telah lama tersurat dalam ilmu Sastra Jendra Hayuningrat,
yang antara lain memuat kriteria bagi seorang pemimpin: 1. Kawruh tan
wonten malih, artinya selalu mengembangan diri dengan menuntut ilmu
pengetahuan yang nyata (ilmiah), 2. Pangruwating barang sakalir, artinya
selalu berusaha membebaskan diri dari segala nafsu angkara murka, 3.
Ngelmu wewadining bumi kang sinengker hyang jagad pratingkah, artinya
selalu mempelajari ilmu rahasia tentang alam semesta yang berasal dari
Tuhan.
Handarbeni, Hangrungkebi, Mulat
Sarira Hangrasa Wani, seorang pemimpin hendaknya mampu mengolah hati
dengan cara mawas diri. Dalam kaitannya ini orang Jawa mengenal tiga (3)
falsafah psikologis mawas diri, yaitu: sikap rumangsa handarbeni yang
berarti merasa memiliki dan mencintai negara, Hangrungkebi, berani
membela negara demi keadilan dan kebenaran, Mulat sarira hangrasa wani,
berani instropeksi dan mengoreksi diri secara jujur dan obyektif,
sehingga mau dan mampu merasakan apa yang dirasakan rakyatnya.
Adil, Berbudi, Wicaksana, dalam
konteksi ini seorang raja/pemimpin tradisional harus memiliki 3 watak:
adil (adil tan pilih sih), bermurah hati dan jujur (berbudi), bijaksana
(wicaksana), ketiga syarat itu merupakan syarat yang sangat universal
bagi seorang pemimpin. Pemimpin harus menegakkan wibawa dan kehormatan
dengan sikap berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta ( berbudi luhur,
mulia, adil serta penuh kasih sayang terhadap siapa saja).
Hamong, Hamot, Hamemangkat,
Hamong, seorang pemimpin (raja) harus sanggup berperan sebagai pamong
yaitu orang yang melayani bukan sebagai seorang yang selalu minta
dilayani. Melayani berarti bertindak bukan sebagai penguasa, akan tetapi
sebagai abdi rakyat, menuntut sikap menjauhi rasa kecewa dan menjauhi
sifat mudah mencela. Hamot, berarti mampu menerima (amot/mewadahi) semua
hal yang didengar atau disampaikan oleh orang lain. Mendengarkan
keluhan dan aspirasi dari rakyat. Hamemangkat, menjaga derajat dan
kedudukan sebagai seorang pemimpin. Sebagai seorang pemimpin/raja harus
menjaga martabat pribadi dan negara dengan menjaga tingkah laku yang
baik (moralitas) dan menjadi suri tauladan bagi rakyatnya.
Adigang, Adigung, Adiguna, Tiga
larangan bagi seorang pemimpin, yaitu Adigang, Adigung, Adiguna.
Adigang, berarti seorang pemimpin tidak selayaknya mengandalkan
kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang dan berlaku sombong.
Adigung, berarti seorang pemimpin jangan mengandalkan kepandaiannya
untuk membodohi dan membohongi rakyat. Adiguna, berarti seorang pemimpin
jangan berani dan pintar berdiplomasi hanya untuk mengingkari janji
atau kebenaran (berdalih). Sebaiknya pemimpin harus rereh, riris dan
ngati-ati (sabar, teliti dan hati-hati) dalam menjalankan pemerintahan.
Kesimpulan
Secara
umum, dapur Jangkung Mangkunegara mempunyai makna bahwa seorang
pemimpin hendaknya memberikan perlindungan dan memelihara secara
menyeluruh terhadap segala sesuatu dalam wilayah kekuasaannya dan
menjalankan tugas secara bertanggungjawab. Budi pekerti dan laku susila
(moral) yang harus menjadi teladan bagi masyarakat.
Simbolisasi dalam Jangkung
Mangkunegara membentuk pola kepemimpinan yang dapat dijadikan inspirasi
bagi setiap pemimpin dalam mengelola kekuasaan dan berinteraksi dengan
masyarakat. Semakin kuat struktur pemerintahan dan sistem kepemimpinan,
maka semakin tidak tampak kekuasaan seorang raja. Ia menjalankan dan
mengelola negara dengan sistem tata negara dan perundang-undangan yang
baik, sehingga fungsi-fungsi pemerintahan berjalan dengan semestinya.
Keberhasilan kepemimpinan dari kekuasaan seorang raja terukur dari
kesejahteraan bagi negara dan rakyatnya. Itulah antara lain cita-cita
yang diusung dari suatu ajaran yang tersimbolkan dalam dapur keris
Jangkung Mangkunegara. Raja yang baik hendaknya menjaga keseimbangan
antara kekuasaan besar dengan kewajiban dan tanggungjawab yang besar
pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar